Kamis, 24 Mei 2012

Difteri, Patofisiologi dan Patogenesis


2.1. Difteri
Difteri ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal (3).
2.1.1. Patofisiologi dan Patogenesis (3, 4)
Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini banyak bergantung pada efek eksotoksin yang diproduksi. Toksin menghambat pembuatan protein sel sehingga sel mati. Nekrosis jaringan pada tempat menempelnya kuman akan menunjang perkembang-biakan kuman dan produksi toksin selanjutnya, serta pembentukan membran yang melekat erat pada dasarnya.
Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-lain. Tetapi walaupun jarang, basil dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul lokal atau kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin.
Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis lokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstitialis (jarang sekali).
Kematian terutama disebabkan oleh sumbatan membran pada laring dan trakea, gagal jantung, gagal pernafasan atau akibat komplikasi yang sering yaitu bronkopneumonia.
2.1.2. Klasifikasi (3, 4)
Biasanya pembagian dari infeksi difteri ini dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit ini juga diajukan oleh Beach dkk. (1950) sebagai berikut :
1.      Infeksi Ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala hanya nyeri menelan.
2.      Infeksi Sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.
3.      Infeksi Berat
Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala miokarditis, paralisis atau pun nefritis dapat menyertaiya.
Berdasarkan tempat atau lokalisasi infeksi, penyakit ini dibagi menjadi 4 macam, dan masing-masing mempunyai gejala klinis yang berbeda-beda, yaitu :
1.      Difteria Hidung
2.      Difteria Faring dan Tonsil (Difteria Fausial)
3.      Difteri Laring dan Trakea
4.      Difteri Kutaneus
2.1.3. Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi merupakan kumpulan gejala dari berbagai lokasi, sebagai akibat kerja kuman, toksin dan penyulit.
Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralisis jaringan saraf atau nefritis.
1.      Difteria Hidung
-          Gejalanya paling ringan dan jarang terdapat (hanya 2 %)
-          Mula-mula hanya tampak pilek tetapi kemudian sekret yang ke luar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran
-          Luka lecet pada daerah nasobialis
-          Ditemukannya pseudomembran di septum nasi
-          Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai faring dan laring
2.      Difteria Faring dan Tonsil (Difteria Fausial)
-          Paling sering dijumpai (± 75%)
-          Panas tidak tinggi
-          Nyeri menelan ringan
-          Mual dan muntah
-          Tidur “ngorok”
-          Ditemukannya pseudomembran di daerah orofaring
-          Bila berat, dapat disertai bullneck dan pendarahan
3.      Difteria Laring
-          Primer atau sebagai perluasan dari difteri faring dan tonsil (lebih sering)
-          Didapatkan batuk menggonggong
-          Suara parau
-          Gejala sumbatan saluran nafas atas (stridor inspirasi)
-          Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak sekret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran
4.      Difteria Kutaneus
-          Merupakan keadaan yang sangat jarang sekali terdapat
-          Dapat pula tombul di daerah konjungtiva, vagina dan umblikus
2.1.4. Diagnosis dan Prognosis (3, 4)
A.     Diagnosis
Diagnosis difteri dibuat atas dasar gejala klinis, ditunjang oleh biakan kuman yang positif. Untuk pengobatan tidaklah dibenarkan menunggu hasil pemeriksaan preparat langsung ataupun biakan, tetapi bila secara klinis tedapat persangkaan yang kuat adanya difteria, maka penderita harus diobati sebagai penderita difteria. Kultur yang negatif belum dapat menyingkirkan infeksi difteria (Nelson). Jadi bial membran terlihat dengan cepat menyebar, walapun biakan ataupun sediaan langsung negatif, maka pengobatan terhadap difteria harus segera diberikan.
B.     Prognosis
Nelson berpendapat kematian penderita difteria sebesar 3 – 5% dan hal ini sangat bergantung kepada :
1.      Umur penderita, karena makin muda umur anak maka prognosisnya makin buruk.
2.      Perjalanan penyakit, karena makin lanjut maka makin buruk prognosisnya.
3.      Letak lesi difteria.
4.      Keadaan umum penderita, misalnya prognosis kurang baik pada penderita gizi kurang.
5.      Pengobatan, makin lambat pemberian antitoksin maka prognosisnya akan makin buruk.
2.1.5. Komplikasi (3, 4)
Penyulit penyakit difteria dapat terjadi dini maupun lambat, berupa :
1.      Saluran pernafasan
Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis.
2.      Kardiovaskular
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk oleh kuman penyakit ini.
3.      Urogenital
Dapat terjadi nefritis atau gagal ginjal akut.
4.      Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik.
2.1.6. Penatalaksanaan (2, 3, 4)
Dalam pengobatan penderita infeksi difteria terdiri dari :
1.      Pengobatan Umum
-          Tirah baring mutlak selama 10 –14 hari. Pada miokarditis, tirah baring selama   4 – 6 minggu.
-          Diberi cukup cairan dan kalori.
-          Makanan lunak dan mudah dicerna.
-          Pada penderita gawat, mungkin perlu cairan per infus
-          Isolasi penderita dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu.
2.      Pengobatan Khusus
a.       Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut.dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata penderita sensitif terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan desensitisasi dengan cara Besredka (secara bertahap).
Dalam literatur lain, dosis pemberian ADS ini dibedakan berdasarkan tingkat infeksi :
- Difteri ringan (hiudng, mata dan kulit) : 20.000 U secara IM
- Difteri sedang (tonsil, laring) : 40.000 U secara IV tetesan
- Difteri berat disertai penyulit : 100.000 U secara IV tetesan
b.      Antimikroba
§  Penisilina prokain sebanyak 50.000 U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas atau selama 10 hari.
§  Bila alergi terhadap penisilina : eritromisin 50 mg/kgBB/hari oral atau 500 mg per hari selama 5 – 10 hari.
§  Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.
c.       Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu kemudian diberhentikan secara bertahap. Pada penderita dengan penyulit jantung perlu dipertimbangkan.

Tidak ada komentar: