Jumat, 04 Mei 2012

Obat-obat Infeksi Saluran Nafas



TINJAUAN FARMAKOLOGI OBAT INFEKSI SALURAN NAPAS

7.1. PENGANTAR
Terapi infeksi saluran napas memang tidak hanya tergantung pada antibiotika. Beberapa kasus infeksi saluran napas atas akut disebabkan oleh virus yang tidak memerlukan terapi antibiotika, cukup dengan terapi suportif.Terapi suportif berperan besar dalam mendukung sukses terapi antibiotika, karena berdampak mengurangi gejala, meningkatkan performa pasien. Obat yang digunakan dalam terapi suportif sebagian besar merupakan obat bebas yang dapat dijumpai dengan mudah, dengan pilihan bervariasi. Apoteker dapat pula berperan dalam pemilihan obat suportif tersebut. Berikut ini akan ditinjau obat-obat yang digunakan dalam terapi pokok maupun terapi suportif.
7.2. ANTIBIOTIKA
Antibiotika digunakan dalam terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dengan tujuan sbb:
•Terapi empirik infeksi
•Terapi definitif infeksi
•Profilaksis non-Bedah
•Profilaksis Bedah
Sebelum memulai terapi dengan antibiotika sangat penting untuk dipastikanapakah infeksi benar-benar ada. Hal ini disebabkan ada beberapa kondisi penyakit maupun obat yang dapat memberikan gejala/ tanda yang mirip dengan infeksi. Selain itu pemakaian antibiotika tanpa didasari bukti infeksi dapat menyebabkan meningkatnya insiden resistensi maupun potensi
Reaksi Obat Berlawanan (ROB) yang dialami pasien. Bukti infeksi dapat berupa adanya tandainfeksi seperti demam, leukositosis, inflamasi di tempat infeksi, produksi infiltrate dari tempat infeksi, maupun hasil kultur. Kultur perlu dilaksanakan pada infeksi berat, infeksi kronik yang tidak memberikan respon terhadap terapi sebelumnya, pasien immunocompromised, infeksi yang menghasilkan komplikasi yang mengancam nyawa
Jumlah antibiotika yang beredar di pasaran terus bertambah seiring dengan maraknya temuan antibiotika baru. Hal ini di samping menambah opsibagi pemilihan antibiotika juga menambah kebingungan dalam pemilihan, karena banyak antibiotika baru yang memiliki spektrum bergeser dari antibiotika induknya. Contoh yang jelas adalah munculnya generasi fluoroquinolon baru yang spektrumnya mencakup bakteri gram positif yang tidak dicakup oleh ciprofloksasin. Panduan dalam memilih antibiotika di samping mempertimbangkan spektrum, penetrasi ke tempat infeksi, juga penting untuk melihat ada-tidaknya gagal organ eliminasi. Berkembangnya prinsip farmakodinamika yang fokus membahas aksi bakterisidal antimikroba membantu pemilihan antibiotika. Prinsip ini mengenal adanya konsep:
Aksi antimikroba yang time-dependent
. Makna dari konsep ini adalah bahwa kadar antibiotika bebas yang ada dalam plasma harus di atas minimum inhibitory concentration (MIC) sebanyak 25-50% pada interval dosis untuk bisamenghambat maupun membunuh patogen. Proporsi interval dosis bervariasi tergantung spesien patogen yang terlibat. Sebagai contoh staphylococci memerlukan waktu yang pendek sedangkan untuk menghambat streptococci dan bakteri Gram negatif diperlukan waktu yang panjang. Antibiotika yang memiliki sifat ini adalah derivate β-laktam. Sehingga frekuensi pemberian β-laktam adalah2-3 kali tergantung spesien bakteri yang menjadi target.
Aksi antimikroba yang concentration-dependent
. Aksi dijumpai pada antibiotika derivat quinolon, aminoglikosida. Daya bunuh preparat ini dicapai dengan semakin tingginya konsentrasi plasma melampaui MIC. Namun tetap sebaiknya memperhatikan batas konsentrasi yang akan berakibat pada toksisitas.
Post-antibiotic Effect (PAE)
. Sifat ini dimiliki oleh aminoglikosida, dimana daya bunuh terhadap Gram negatif batang masih dimiliki 1-2 jam setelah antibiotika dihentikan. Berikut ini rangkuman tentang mekanisme kerja, spektrum aktivitas, prinsip dasar farmakokinetik pada beberapa antibiotika yang banyak digunakan dalam terapi infeksi saluran pernapasan. Monografi yang lebih lengkap tentang antibiotika tertera pada Lampiran 1.

7.2.1. PENICILIN
Penicilin merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisidaldengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Masalah resistensi akibat penicilinase mendorong lahirnya terobosan dengan ditemukannya derivat penicilin seperti methicilin, fenoksimetil penicilin yangdapat diberikan oral, karboksipenicilin yang memiliki aksi terhadap Pseudomonas sp. 
Namun hanya Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai diIndonesia yang lebih dikenal dengan nama Penicilin V.Spektrum aktivitas dari fenoksimetilpenicilin meliputi terhadap Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumonia serta aksi yang kurangkuat terhadap Enterococcus faecalis.
Aktivitas terhadap bakteri Gram negatif sama sekali tidak dimiliki. Antibiotika ini diabsorbsi sekitar 60-73%, didistribusikan hingga ke cairan ASI sehingga waspada pemberian pada ibu menyusui. Antibiotika ini memiliki waktu paruh 30 menit, namun memanjang pada pasien dengan gagal ginjal berat maupun terminal, sehingga interval pemberian 250 mg setiap 6 jam.
Terobosan lain terhadap penicilin adalah dengan lahirnya derivat penicillin yang berspektrum luas seperti golongan aminopenicilin (amoksisilin) yang mencakup E. Coli , Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae. Penambahan gugus β-laktamase inhibitor seperti klavulanat memperluas cakupan hingga Staphylococcus aureus, Bacteroides catarrhalis.
Sehingga saat ini amoksisilin-klavulanat merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi alternatif lain setelah resisten dengan amoksisilin. Profil farmakokinetik dari amoksisilin-klavulanat antara lain bahwa absorpsi hampir komplit tidak dipengaruhi makanan. Obat ini terdistribusi baik keseluruh cairan tubuh dan tulang bahkan dapat menembus blood brain barrier,namun penetrasinya ke dalam sel mata sangat kurang. Metabolisme obat ini terjadi di liver secara parsial. Waktu paruh sangat bervariasi antara lain pada bayi normal 3,7 jam, pada anak 1-2 jam, sedangkan pada dewasa dengan ginjal normal 07-1,4 jam. Pada pasien dengan gagal ginjal berat waktu paruh memanjang hingga 21 jam. Untuk itu perlu penyesuaian dosis, khususnya pada pasien dengan klirens kreatinin < 10 ml/menit menjadi 1 x 24 jam.


7.2.2. CEFALOSPORIN
Merupakan derivate β-laktam yang memiliki spektrum aktivitas bervariasitergantung generasinya. Saat ini ada empat generasi cefalosporin, Generasi Peroral Parenteral Spektrum aktivitas
1.     Pertama Cefaleksin Cefaleksin Cefradin Cefazolin Cefadroksil (Stapylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,Streptococcus pneumoniae,Haemophilus influenzae, E. Coli,Klebsiella spp.
2.     Kedua Cefaklor Cefamandole Cefprozil Cefmetazole Cefuroksim Cefuroksim Cefonicids.d.a. kecuali Cefuroksim memiliki aktivitas tambahan terhadap Neisseria gonorrhoeae
3.    Ketiga Cefiksim Cefiksim Cefpodoksim Cefotaksim Cefditoren Ceftriakson Ceftazidime Cefoperazone Ceftizoxime Stapylococcus aureus (paling kuatpada cefotaksim bila dibandingpreparat lain pada generasi ini), Streptococcus pyogenes,Streptococcus pneumoniae,Haemophilus influenzae, E. Coli,Klebsiella spp.Enterobacter spp,Serratia marcescens.
4.    Keempat Cefepime Cefpirome Cefclidin Stapylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,Streptococcus pneumoniae,Haemophilus influenzae, E. Coli,Klebsiella spp.Enterobacter spp,Serratia marcescens.
 Cefotaksim pada generasi tiga memiliki aktivitas yang paling luas di antara generasinya yaitu mencakup pula Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis meskipun lemah. Cefalosporin yang memiliki aktivitas yang kuat terhadap Pseudominas aeruginosa adalah ceftazidime setara dengan cephalosporin generasi keempat, namun aksinya terhadap bakteri Gram positif lemah, sehingga sebaiknya agen ini disimpan untuk mengatasi infeksi nosokomial yang melibatkan pseudomonas. Spektrum aktivitas generasi keempat sangat kuat terhadap bakteri Gram positif maupun negatif, bahkan terhadap Pseudominas aeruginosa sekalipun, namun tidak terhadap B. fragilis
Mekanisme kerja golongan cefalosporin sama seperti β-laktam lain yaitu berikatan dengan penicilin protein binding (PBP) yang terletak di dalam maupun permukaan membran sel sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada kematian bakteri.
7.2.3. MAKROLIDA
Eritromisina merupakan prototipe golongan ini sejak ditemukan pertama kalith 1952. Komponen lain golongan makrolida merupakan derivat sintetik dari eritromisin yang struktur tambahannya bervariasi antara 14-16 cincin lakton. Derivat makrolida tersebut terdiri dari spiramysin, midekamisin, roksitromisin,azitromisin dan klaritromisin.Aktivitas antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi Grampositif coccus seperti Staphylococcus aureus, coagulase-negatif staphylococci,streptococci β-hemolitik dan Streptococcus spp. lain,enterococci, H. Influenzae,Neisseria spp, Bordetella spp, Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma,Rickettsia dan Legionella spp. Azitromisin memiliki aktivitas yang lebih poten terhadap Gram negatif, volume distribusi yang lebih luas serta waktu paruh yanglebih panjang. Klaritromisin memiliki fitur farmakokinetika yang meningkat (waktu paruh plasma lebih panjang, penetrasi ke jaringan lebih besar) serta peningkatan aktivitas terhadap H. Influenzae, Legionella pneumophila.
Sedangkanroksitromisin memiliki aktivitas setara dengan eritromisin, namun profil farmakokinetiknya mengalami peningkatan sehingga lebih dipilih untuk infeksi saluran pernapasan. Hampir semua komponen baru golongan makrolida memiliki tolerabilitas, profil keamanan lebih baik dibandingkan dengan eritromisin. Lebih jauh lagi derivat baru tersebut bisa diberikan satu atau dua kali sehari, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien.
7.2.4. TETRASIKLIN
Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya asam amino ke ribosom bakteri (sub unit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah bakteriostatik yang luas terhadap gram positif, gram negatif, chlamydia, mycoplasma, bahkan rickettsia. Generasi pertama meliputi tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin. Generasi kedua merupakan penyempurnaan dari sebelumnya yaitu terdiri dari doksisiklin, minosiklin. Generasi kedua memilki karakteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu antara lain memiliki volume distribusi yang lebih luas karena profil lipofiliknya.
Selain itu bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu paruheliminasi lebih panjang (> 15 jam). Doksisiklin dan minosiklin tetap aktif terhadapstafilokokus yang resisten terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri anaerobseperti Acinetobacter spp, Enterococcus yang resisten terhadap Vankomisinsekalipun tetap efektif.
7.2.5. QUINOLON
Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral memberikan pengaruh yang dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin. Generasi awal mempunyai peran dalam terapi gram-negatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua terdiri dari pefloksasin,enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin, fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi community-acquiredmaupun infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi ciprofloksasin, ofloksasin, peflokasin tersedia sebagai preparat parenteral yang memungkinkan penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen lain.
Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba secara umum meliputi,Enterobacteriaceae, P. aeruginosa , srtaphylococci, enterococci, streptococci.Aktivitas terhadap bakteri anaerob pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikianpula dengan generasi ketiga quinolon seperti levofloksasin,gatifloksasin,moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob seperti B. fragilis , anaerob lain dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat yaitu trovafloksacin.
Modifikasistruktur quinolon menghasilkan aktivitas terhadap mycobacteria sehinggadigunakan untuk terapi TB yang resisten, lepra, prostatitis kronik, infeksikutaneus kronik pada pasien diabetes. Profil farmakokinetik quinolon sangat mengesankan terutama bioavailabilitas yang tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang. Sebagai contoh ciprofloksasin memiliki bioavailabilitas berkisar 50-70%, waktu paruh 3-4 jam,serta konsentrasi puncak sebesar 1,51-2,91 mg/L setelah pemberian dosis 500mg. Sedangkan Ofloksasin memiliki bioavailabilitas 95-100%, dengan waktu paruh 5-8 jam, serta konsentrasi puncak 2-3mg/L paska pemberian dosis 400mg. Perbedaan di antara quinolon di samping pada spektrum aktivitasnya, juga pada profil tolerabilitas, interaksinya dengan teofilin, antasida, H2-Bloker,antikolinergik, serta profil keamanan secara umum
Resistensi merupakan masalah yang menghadang golongan quinolon diseluruh dunia karena penggunaan yang luas. Spesies yang dilaporkan banyakyang resisten adalah P. aeruginosa, beberapa streptococci, Acinetobacter spp,Proteus vulgaris, Serratia spp.
7.2.6. SULFONAMIDA
Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang masih digunakan. Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah Sulfametoksazol yang dikombinasikan dengan trimetoprim yang lebih dikenal dengan nama Kotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfametoksazol adalah dengan menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada alur sintesis asam folat.
Kombinasi yang bersifat sinergis ini menyebabkan pemakaian yang luas pada terapi infeksi community-acquired seperti sinusitis,otitis media akut, infeksi saluran kencing.Aktivitas antimikroba yang dimiliki kotrimoksazol meliputi kuman gram-negatif seperti e. coli, klebsiella, enterobacter sp, M morganii, P. mirabilis, P.vulgaris, H. Influenza, salmonella serta gram-positif seperti S. Pneumoniae,Pneumocystis carinii. , serta parasit seperti Nocardia sp.
7.3. TERAPI SUPORTIF
7.3.1. ANALGESIK-ANTIPIRETIK
Obat ini seringkali digunakan untuk mengurangi gejala letargi, malaise,demam terkait infeksi pernapasan.
7.3.2. ANTIHISTAMIN
Selama beberapa tahun antihistamin digunakan dalam terapi rhinitis alergi. Ada dua kelompok antihistamin yaitu: generasi pertama yang terdiri dari chlorpheniramine, diphenhydramine, hydroxyzine dan generasi kedua yangterdiri dari astemizole, cetirizine, loratadine, terfenadine, acrivastine.
Antihistamin generasi pertama mempunyai profil efek samping yaitu sedasi yang dipengaruhi dosis, merangsang SSP menimbulkan mulut kering.
Antihistamin generasi kedua tidak atau kurang menyebabkan sedasi dan merangsang SSP, serta tidak bereaksi sinergis dengan alkohol dan obat-obat yang menekan SSP.
Antihistamin bekerja dengan menghambat pelepasan mediator inflamasi seperti histamine serta memblok migrasi sel. Sedasi yang ditimbulkan oleh  generasi pertama disebabkan oleh blokade neuron histaminergik sentral yangmengontrol kantuk. Hal ini tidak terjadi pada generasi kedua, karena tidak dapat menembus blood-brain barrier.
Oleh karena itu dalam memilih antihistamin hendaknya perlu dipertimbangkan pekerjaan pasien, yaitu pekerjaan yang memerlukan koordinasi seperti yang berkaitan dengan pengoperasian mesin,motor hendaknya menghindari antihistamin generasi I, karena dapat menggagalkan koordinasi dan bisa berakibat fatal.
Antihistamin generasi kedua tampaknya ditolerir dengan baik bila diberikan dalam dosis standar. Kecuali pada terfenadine dan astemizol dijumpai beberapa kasus reaksi kardiovaskuler yang tidak dikehendaki seperti Torsadesde pointes dan aritmia ventrikuler ketika dikombinasi dengan ketokonazol,itrakonazol maupun eritromisin. Efek samping tersebut juga potensial akan muncul pada pasien dengan disfungsi hepar atau yang mendapat terapiquinidine, prokainamida.
7.3.3. KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi oedema subglotis dengan cara menekan proses inflamasi lokal. Sampai saat ini efektivitas kortikosteroid masih diperdebatkan, namun hasil suatu studi meta-analisis menunjukkan bahwa steroid mampu mengurangi gejala dalam 24 jam serta mengurangi kebutuhan untuk intubasi endotrakeal.
Kortikosteroid mengatur mekanisme humoral maupun seluler dari respon inflamasi dengan cara menghambat aktivasi dan infiltrasi eosinofil, basofil dan mast cell ke tempat inflamasi serta mengurangi produksi dan pelepasan faktor-faktor inflamasi (prostaglandin, leukotrien). Selain itu kortikosteroid juga bersifat sebagai vasokonstriktor kuat.
7.3.4. DEKONGESTAN
Dekongestan nasal digunakan sebagai terapi simtomatik pada beberapa kasus infeksi saluran nafas karena efeknya terhadap nasal yang meradang, sinus serta mukosa tuba eustachius. Ada beberapa agen yang digunakan untuk tujuan tersebut yang memiliki stimulasi terhadap kardiovaskuler serta SSP minimal yaitu: pseudoefedrin, fenilpropanolamin yang digunakan secara oralserta oxymetazolin, fenilefrin, xylometazolin yang digunakan secara topikal.
Dekongestan oral bekerja dengan cara meningkatkan pelepasan noradrenalin dari ujung neuron. Preparat ini mempunyai efek samping sistemik berupa takikardia, palpitasi, gelisah, tremor, insomnia, serta hipertensi padapasien yang memiliki faktor predisposisi.
Agen topikal bekerja pada reseptor α pada permukaan otot polospembuluh darah dengan menyebabkan vasokonstriksi, sehingga mengurangi oedema mukosa hidung. Dekongestan topikal efektif, namun pemakaiannya hendaknya dibatasi maksimum 7 hari karena kemampuannya untuk menimbulkan kongesti berulang.
Kongesti berulang disebabkan oleh vasodilasi sekunder dari pembuluh darah di mukosa hidung yang berdampak pada kongesti. Hal ini menggoda untuk menggunakan kembali dekongestan nasal, sehingga akan mengulang siklus kongesti. Tetes hidung efedrin merupakan preparat simpatomimetik yang paling aman dan dapat memberikan dekongesti selama beberapa jam. Semakin kuat efek simpatomimetik, seperti yang dijumpai pada oxymetazolin dan xylometazolin, maka semakin besar potensi untuk menyebabkan kongesti berulang. Semua preparat topikal dapat menyebabkan “hypertensive crisis” bila digunakan bersama obat penghambat monoamine-oksidase termasuk moklobemide. Penggunaan uap air hangat dengan ataupun tanpa penambahan zat-zataromatik yang mudah menguap seperti eukaliptus dapat membantu mengatasikongesti. Terapi ini juga diterapkan pada terapi simtomatik bronchitis.
7.3.5. BRONKHODILATOR
Penggunaan klinik bronkhodilator pada infeksi pernapasan bawah adalahpada kasus bronkhitis kronik yang disertai obstruksi pernapasan. Agen yangdapat dipilih adalah:
ß-Adrenoceptor Agonist
ß-Adrenoceptor Agonist memberikan onset kerja 10 menit serta lama kerja bervariasi dari 3-6 jam, dan >12 jam untuk agen yang long acting seperti bambuterol, salmeterol, formoterol. ß-Adrenoceptor Agonist diberikan secara inhalasi baik dalam bentuk uap maupun serbuk kering. Dari dosis yang disemprotkan hanya 10% saja yang terdeposit di sepanjang bronchi hingga paru. Tehnik penyemprotan yang salah sangat berpengaruh terhadap jumlah obat yang akan terdeposit. Upaya untuk meningkatkan kadar obat yang mencapai paru adalah dengan memilih bentuk sediaan serbuk yang disemprotkan yang dapat mencapai 30% terdeposit di saluran bronkhus-paru. ß-Adrenoceptor Agonist yang memilki aksi intermediate seperti Fenoterol, Salbutamol,Terbutaline terdapat pula dalam bentuk larutan yang akan diuapkan dengan bantuan nebuliser.
Metilxantine
Derivat metilxantine meliputi teofilin dan derivatnya seperti aminofilin merupakan bronchodilator yang baik, namun memilki beberapa kekurangan. Kekurangan tersebut di antaranya tidak dapat diberikan secara inhalasi, sehingga efek samping lebih nyata dibandingkan ß-Adrenoceptor Agonist.
Selain itu dengan indeks keamanan yang sempit teofilin perlu dimonitor kadar plasmanya. Derivat metilxantin bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesteraseintrasel yang akan memecah cyclic-AMP (yang diasumsikan berguna untuk bronkhodilatasi).
7.3.6. MUKOLITIK
Mukolitik merupakan obat yang dipakai untuk mengencerkan mukus yang kental, sehingga mudah dieskpektorasi. Perannya sebagai terapi tambahan pada bronkhitis, pneumonia. Pada bronchitis kronik terapi dengan mukolitik hanya berdampak kecil terhadap reduksi dari eksaserbasi akut, namun berdampak reduksi yang signifikan terhadap jumlah hari sakit pasien.
            Agen yang banyak dipakai adalah Acetylcystein yang dapat diberikan melalui nebulisasi maupun oral. Mekanisme kerja adalah dengan cara membuka ikatan gugus sulfidril pada mucoprotein sehingga menurunkan viskositas mukus.

Tidak ada komentar: