TINJAUAN FARMAKOLOGI OBAT INFEKSI
SALURAN NAPAS
7.1. PENGANTAR
Terapi infeksi saluran napas memang tidak
hanya tergantung pada antibiotika. Beberapa kasus infeksi saluran napas atas
akut disebabkan oleh virus yang tidak memerlukan terapi antibiotika, cukup
dengan terapi suportif.Terapi suportif berperan besar dalam mendukung sukses
terapi antibiotika, karena berdampak mengurangi gejala, meningkatkan performa
pasien. Obat yang digunakan dalam terapi suportif sebagian besar merupakan obat
bebas yang dapat dijumpai dengan mudah, dengan pilihan bervariasi. Apoteker
dapat pula berperan dalam pemilihan obat suportif tersebut. Berikut ini akan
ditinjau obat-obat yang digunakan dalam terapi pokok maupun terapi suportif.
7.2.
ANTIBIOTIKA
Antibiotika
digunakan dalam terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dengan
tujuan sbb:
•Terapi empirik
infeksi
•Terapi definitif
infeksi
•Profilaksis
non-Bedah
•Profilaksis
Bedah
Sebelum memulai terapi dengan antibiotika
sangat penting untuk dipastikanapakah infeksi benar-benar ada. Hal ini disebabkan
ada beberapa kondisi penyakit maupun obat yang dapat memberikan gejala/ tanda
yang mirip dengan infeksi. Selain itu pemakaian antibiotika tanpa didasari bukti infeksi dapat
menyebabkan meningkatnya insiden resistensi maupun potensi
Reaksi Obat Berlawanan (ROB) yang dialami
pasien. Bukti infeksi dapat berupa adanya tandainfeksi seperti demam,
leukositosis, inflamasi di tempat infeksi, produksi infiltrate dari tempat
infeksi, maupun hasil kultur. Kultur perlu dilaksanakan pada infeksi berat,
infeksi kronik yang tidak memberikan respon terhadap terapi sebelumnya, pasien
immunocompromised, infeksi yang menghasilkan komplikasi yang mengancam nyawa
Jumlah antibiotika yang beredar di pasaran
terus bertambah seiring dengan maraknya temuan antibiotika baru. Hal ini di
samping menambah opsibagi pemilihan antibiotika juga menambah kebingungan dalam
pemilihan, karena banyak antibiotika baru yang memiliki spektrum bergeser dari
antibiotika induknya. Contoh yang jelas adalah munculnya generasi
fluoroquinolon baru yang spektrumnya mencakup bakteri gram positif yang tidak
dicakup oleh ciprofloksasin. Panduan dalam memilih antibiotika di samping mempertimbangkan
spektrum, penetrasi ke tempat infeksi, juga penting untuk melihat ada-tidaknya
gagal organ eliminasi. Berkembangnya prinsip farmakodinamika yang fokus
membahas aksi bakterisidal antimikroba membantu pemilihan antibiotika. Prinsip
ini mengenal adanya konsep:
Aksi
antimikroba yang time-dependent
.
Makna dari konsep ini adalah bahwa kadar antibiotika bebas yang ada dalam
plasma harus di atas minimum inhibitory concentration (MIC) sebanyak 25-50%
pada interval dosis untuk bisamenghambat maupun membunuh patogen. Proporsi
interval dosis bervariasi tergantung spesien patogen yang terlibat. Sebagai
contoh staphylococci memerlukan waktu yang pendek sedangkan untuk menghambat
streptococci dan bakteri Gram negatif diperlukan waktu yang panjang.
Antibiotika yang memiliki sifat ini adalah derivate β-laktam. Sehingga
frekuensi pemberian β-laktam adalah2-3 kali tergantung spesien bakteri yang
menjadi target.
Aksi
antimikroba yang concentration-dependent
.
Aksi dijumpai pada antibiotika derivat quinolon, aminoglikosida. Daya bunuh
preparat ini dicapai dengan semakin tingginya konsentrasi plasma melampaui MIC.
Namun tetap sebaiknya memperhatikan batas konsentrasi yang akan berakibat pada toksisitas.
Post-antibiotic
Effect (PAE)
.
Sifat ini dimiliki oleh aminoglikosida, dimana daya bunuh terhadap Gram negatif
batang masih dimiliki 1-2 jam setelah antibiotika dihentikan. Berikut ini
rangkuman tentang mekanisme kerja, spektrum aktivitas, prinsip dasar
farmakokinetik pada beberapa antibiotika yang banyak digunakan dalam terapi
infeksi saluran pernapasan. Monografi yang lebih lengkap tentang antibiotika
tertera pada Lampiran 1.
7.2.1.
PENICILIN
Penicilin
merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisidaldengan
mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Masalah resistensi
akibat penicilinase mendorong lahirnya terobosan dengan ditemukannya derivat
penicilin seperti methicilin, fenoksimetil penicilin yangdapat diberikan oral,
karboksipenicilin yang memiliki aksi terhadap Pseudomonas sp.
Namun hanya Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai diIndonesia
yang lebih dikenal dengan nama Penicilin V.Spektrum aktivitas dari
fenoksimetilpenicilin meliputi terhadap Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumonia
serta aksi yang kurangkuat terhadap Enterococcus faecalis.
Aktivitas terhadap bakteri Gram
negatif sama sekali tidak dimiliki. Antibiotika ini diabsorbsi sekitar
60-73%, didistribusikan hingga ke cairan ASI sehingga waspada pemberian pada
ibu menyusui. Antibiotika ini memiliki waktu paruh
30 menit, namun memanjang pada pasien dengan gagal ginjal berat
maupun terminal, sehingga interval pemberian 250 mg setiap 6 jam.
Terobosan lain terhadap penicilin adalah
dengan lahirnya derivat penicillin yang berspektrum luas seperti golongan
aminopenicilin (amoksisilin) yang mencakup E. Coli , Streptococcus
pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Neisseria
gonorrhoeae. Penambahan gugus β-laktamase inhibitor seperti klavulanat
memperluas cakupan hingga Staphylococcus aureus, Bacteroides catarrhalis.
Sehingga saat ini amoksisilin-klavulanat
merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi alternatif lain
setelah resisten dengan amoksisilin. Profil farmakokinetik dari
amoksisilin-klavulanat antara lain bahwa absorpsi hampir komplit tidak
dipengaruhi makanan. Obat ini terdistribusi baik keseluruh cairan tubuh dan
tulang bahkan dapat menembus blood brain barrier,namun penetrasinya ke dalam
sel mata sangat kurang. Metabolisme obat ini terjadi di liver secara parsial.
Waktu paruh sangat bervariasi antara lain pada bayi normal 3,7 jam, pada anak
1-2 jam, sedangkan pada dewasa dengan ginjal normal 07-1,4 jam. Pada pasien
dengan gagal ginjal berat waktu paruh memanjang hingga 21 jam. Untuk itu perlu
penyesuaian dosis, khususnya pada pasien dengan klirens kreatinin < 10
ml/menit menjadi 1 x 24 jam.
7.2.2.
CEFALOSPORIN
Merupakan
derivate β-laktam yang memiliki spektrum aktivitas bervariasitergantung
generasinya. Saat ini ada empat generasi cefalosporin, Generasi Peroral
Parenteral Spektrum aktivitas
1.
Pertama Cefaleksin Cefaleksin
Cefradin Cefazolin Cefadroksil (Stapylococcus aureus, Streptococcus
pyogenes,Streptococcus pneumoniae,Haemophilus influenzae, E. Coli,Klebsiella
spp.
2.
Kedua Cefaklor Cefamandole
Cefprozil Cefmetazole Cefuroksim Cefuroksim Cefonicids.d.a. kecuali Cefuroksim
memiliki aktivitas tambahan terhadap Neisseria gonorrhoeae
3.
Ketiga Cefiksim Cefiksim
Cefpodoksim Cefotaksim Cefditoren Ceftriakson Ceftazidime Cefoperazone Ceftizoxime
Stapylococcus aureus (paling kuatpada cefotaksim bila dibandingpreparat lain
pada generasi ini), Streptococcus pyogenes,Streptococcus pneumoniae,Haemophilus
influenzae, E. Coli,Klebsiella spp.Enterobacter spp,Serratia marcescens.
4.
Keempat
Cefepime Cefpirome Cefclidin Stapylococcus aureus, Streptococcus
pyogenes,Streptococcus pneumoniae,Haemophilus influenzae, E. Coli,Klebsiella spp.Enterobacter
spp,Serratia marcescens.
Cefotaksim pada generasi tiga
memiliki aktivitas yang paling luas di antara generasinya yaitu mencakup pula Pseudominas
aeruginosa, B. Fragilis meskipun lemah. Cefalosporin yang memiliki aktivitas
yang kuat terhadap Pseudominas aeruginosa adalah ceftazidime setara dengan cephalosporin
generasi keempat, namun aksinya terhadap bakteri Gram positif lemah, sehingga
sebaiknya agen ini disimpan untuk mengatasi infeksi nosokomial yang melibatkan pseudomonas. Spektrum aktivitas
generasi keempat sangat kuat terhadap bakteri Gram positif
maupun negatif, bahkan terhadap Pseudominas aeruginosa sekalipun, namun tidak
terhadap B. fragilis
Mekanisme kerja golongan cefalosporin sama
seperti β-laktam lain yaitu berikatan dengan penicilin protein binding (PBP)
yang terletak di dalam maupun permukaan membran sel sehingga dinding sel
bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada kematian bakteri.
7.2.3.
MAKROLIDA
Eritromisina merupakan prototipe golongan
ini sejak ditemukan pertama kalith 1952. Komponen lain golongan makrolida
merupakan derivat sintetik dari eritromisin yang struktur tambahannya
bervariasi antara 14-16 cincin lakton. Derivat makrolida tersebut terdiri dari
spiramysin, midekamisin, roksitromisin,azitromisin dan klaritromisin.Aktivitas
antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi Grampositif coccus seperti Staphylococcus
aureus, coagulase-negatif staphylococci,streptococci β-hemolitik dan Streptococcus
spp. lain,enterococci, H. Influenzae,Neisseria spp, Bordetella spp, Corynebacterium
spp, Chlamydia, Mycoplasma,Rickettsia dan Legionella spp. Azitromisin memiliki
aktivitas yang lebih poten terhadap Gram negatif, volume distribusi yang lebih
luas serta waktu paruh yanglebih panjang. Klaritromisin memiliki fitur
farmakokinetika yang meningkat (waktu paruh plasma lebih panjang, penetrasi ke
jaringan lebih besar) serta peningkatan aktivitas terhadap H. Influenzae,
Legionella pneumophila.
Sedangkanroksitromisin memiliki aktivitas setara dengan eritromisin, namun profil
farmakokinetiknya mengalami peningkatan sehingga lebih dipilih untuk infeksi saluran
pernapasan. Hampir semua komponen baru golongan makrolida memiliki
tolerabilitas, profil keamanan lebih baik dibandingkan dengan eritromisin.
Lebih jauh lagi derivat baru tersebut bisa diberikan satu atau dua kali sehari,
sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien.
7.2.4.
TETRASIKLIN
Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial
hasil biosintesis yang memiliki spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya
yaitu blokade terikatnya asam amino ke ribosom bakteri (sub
unit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah bakteriostatik yang
luas terhadap gram positif, gram negatif, chlamydia, mycoplasma, bahkan
rickettsia. Generasi pertama meliputi tetrasiklin, oksitetrasiklin,
klortetrasiklin. Generasi kedua merupakan penyempurnaan dari sebelumnya yaitu
terdiri dari doksisiklin, minosiklin. Generasi kedua memilki karakteristik
farmakokinetik yang lebih baik yaitu antara lain memiliki volume distribusi
yang lebih luas karena profil lipofiliknya.
Selain itu bioavailabilitas lebih besar,
demikian pula waktu paruheliminasi lebih panjang (> 15 jam). Doksisiklin dan
minosiklin tetap aktif terhadapstafilokokus yang resisten terhadap tetrasiklin,
bahkan terhadap bakteri anaerobseperti Acinetobacter spp, Enterococcus yang
resisten terhadap Vankomisinsekalipun tetap efektif.
7.2.5. QUINOLON
Golongan quinolon merupakan antimikrobial
oral memberikan pengaruh yang dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe
awal yaitu asam nalidiksat berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat,
cinoksacin, norfloksacin. Generasi awal mempunyai peran dalam terapi
gram-negatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua terdiri dari pefloksasin,enoksasin,
ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin, fleroksasin dengan spektrum
aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi community-acquiredmaupun infeksi
nosokomial. Lebih jauh lagi ciprofloksasin, ofloksasin, peflokasin tersedia
sebagai preparat parenteral yang memungkinkan penggunaannya secara luas baik
tunggal maupun kombinasi dengan agen lain.
Mekanisme kerja golongan quinolon secara
umum adalah dengan menghambat DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba secara umum
meliputi,Enterobacteriaceae, P. aeruginosa , srtaphylococci, enterococci,
streptococci.Aktivitas terhadap bakteri anaerob pada generasi kedua tidak
dimiliki. Demikianpula dengan generasi ketiga quinolon seperti
levofloksasin,gatifloksasin,moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob seperti B.
fragilis , anaerob lain dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat
yaitu trovafloksacin.
Modifikasistruktur quinolon menghasilkan aktivitas terhadap mycobacteria sehinggadigunakan
untuk terapi TB yang resisten, lepra, prostatitis kronik, infeksikutaneus
kronik pada pasien diabetes. Profil farmakokinetik quinolon sangat mengesankan
terutama bioavailabilitas yang tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang.
Sebagai contoh ciprofloksasin memiliki bioavailabilitas berkisar
50-70%, waktu paruh 3-4 jam,serta konsentrasi
puncak sebesar 1,51-2,91 mg/L setelah pemberian dosis 500mg.
Sedangkan Ofloksasin memiliki bioavailabilitas 95-100%, dengan waktu paruh 5-8
jam, serta konsentrasi puncak 2-3mg/L paska pemberian dosis 400mg. Perbedaan di
antara quinolon di samping pada spektrum aktivitasnya, juga pada profil tolerabilitas,
interaksinya dengan teofilin, antasida, H2-Bloker,antikolinergik, serta profil
keamanan secara umum
Resistensi
merupakan masalah yang menghadang golongan quinolon diseluruh dunia karena
penggunaan yang luas. Spesies yang dilaporkan banyakyang resisten adalah P.
aeruginosa, beberapa streptococci, Acinetobacter spp,Proteus vulgaris, Serratia
spp.
7.2.6.
SULFONAMIDA
Sulfonamida merupakan salah satu
antimikroba tertua yang masih digunakan. Preparat sulfonamida yang paling
banyak digunakan adalah Sulfametoksazol yang dikombinasikan dengan trimetoprim
yang lebih dikenal dengan nama Kotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfametoksazol
adalah dengan menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat
reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim
pada alur sintesis asam folat.
Kombinasi yang bersifat sinergis ini
menyebabkan pemakaian yang luas pada terapi infeksi community-acquired seperti
sinusitis,otitis media akut, infeksi saluran kencing.Aktivitas antimikroba yang
dimiliki kotrimoksazol meliputi kuman gram-negatif seperti e. coli, klebsiella,
enterobacter sp, M morganii, P. mirabilis, P.vulgaris, H. Influenza, salmonella
serta gram-positif seperti S. Pneumoniae,Pneumocystis carinii. , serta parasit
seperti Nocardia sp.
7.3. TERAPI
SUPORTIF
7.3.1.
ANALGESIK-ANTIPIRETIK
Obat
ini seringkali digunakan untuk mengurangi gejala letargi, malaise,demam terkait
infeksi pernapasan.
7.3.2.
ANTIHISTAMIN
Selama beberapa tahun antihistamin
digunakan dalam terapi rhinitis alergi. Ada dua kelompok antihistamin yaitu:
generasi pertama yang terdiri dari chlorpheniramine, diphenhydramine,
hydroxyzine dan generasi kedua yangterdiri dari astemizole, cetirizine,
loratadine, terfenadine, acrivastine.
Antihistamin generasi pertama mempunyai
profil efek samping yaitu sedasi yang dipengaruhi dosis, merangsang SSP
menimbulkan mulut kering.
Antihistamin generasi kedua tidak atau kurang
menyebabkan sedasi dan merangsang SSP, serta tidak bereaksi
sinergis dengan alkohol dan obat-obat yang menekan SSP.
Antihistamin bekerja dengan menghambat
pelepasan mediator inflamasi seperti histamine serta memblok migrasi sel.
Sedasi yang ditimbulkan oleh generasi
pertama disebabkan oleh blokade neuron histaminergik sentral yangmengontrol
kantuk. Hal ini tidak terjadi pada generasi kedua, karena tidak dapat menembus
blood-brain barrier.
Oleh karena itu dalam memilih antihistamin hendaknya
perlu dipertimbangkan pekerjaan pasien, yaitu pekerjaan yang memerlukan
koordinasi seperti yang berkaitan dengan pengoperasian mesin,motor hendaknya
menghindari antihistamin generasi I, karena dapat menggagalkan koordinasi dan
bisa berakibat fatal.
Antihistamin generasi kedua tampaknya
ditolerir dengan baik bila diberikan dalam dosis standar. Kecuali pada
terfenadine dan astemizol dijumpai beberapa kasus reaksi kardiovaskuler yang
tidak dikehendaki seperti Torsadesde pointes dan aritmia ventrikuler ketika
dikombinasi dengan ketokonazol,itrakonazol maupun eritromisin. Efek samping
tersebut juga potensial akan muncul pada pasien dengan disfungsi hepar atau
yang mendapat terapiquinidine, prokainamida.
7.3.3.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi
oedema subglotis dengan cara menekan proses inflamasi lokal. Sampai
saat ini efektivitas kortikosteroid masih diperdebatkan, namun hasil
suatu studi meta-analisis menunjukkan bahwa steroid mampu mengurangi gejala
dalam 24 jam serta mengurangi kebutuhan untuk intubasi endotrakeal.
Kortikosteroid mengatur mekanisme humoral
maupun seluler dari respon inflamasi dengan cara menghambat aktivasi dan infiltrasi
eosinofil, basofil dan mast cell ke tempat inflamasi serta mengurangi produksi
dan pelepasan faktor-faktor inflamasi (prostaglandin, leukotrien). Selain itu
kortikosteroid juga bersifat sebagai vasokonstriktor kuat.
7.3.4. DEKONGESTAN
Dekongestan nasal digunakan sebagai terapi
simtomatik pada beberapa kasus infeksi saluran nafas karena efeknya terhadap
nasal yang meradang, sinus serta mukosa tuba eustachius. Ada beberapa agen yang
digunakan untuk tujuan tersebut yang memiliki stimulasi terhadap kardiovaskuler
serta SSP minimal yaitu: pseudoefedrin, fenilpropanolamin yang digunakan secara
oralserta oxymetazolin, fenilefrin, xylometazolin yang digunakan secara
topikal.
Dekongestan oral bekerja dengan cara
meningkatkan pelepasan noradrenalin dari ujung neuron.
Preparat ini mempunyai efek samping sistemik berupa takikardia,
palpitasi, gelisah, tremor, insomnia, serta hipertensi padapasien yang memiliki
faktor predisposisi.
Agen topikal bekerja pada reseptor α pada
permukaan otot polospembuluh darah dengan menyebabkan vasokonstriksi, sehingga mengurangi
oedema mukosa hidung. Dekongestan topikal efektif,
namun pemakaiannya hendaknya dibatasi maksimum 7 hari karena kemampuannya
untuk menimbulkan kongesti berulang.
Kongesti berulang disebabkan oleh
vasodilasi sekunder dari pembuluh darah di mukosa hidung yang berdampak pada kongesti.
Hal ini menggoda untuk menggunakan kembali dekongestan nasal, sehingga akan
mengulang siklus kongesti. Tetes hidung efedrin merupakan preparat simpatomimetik
yang paling aman dan dapat memberikan dekongesti selama beberapa jam. Semakin
kuat efek simpatomimetik, seperti yang dijumpai pada oxymetazolin dan
xylometazolin, maka semakin besar potensi untuk menyebabkan kongesti berulang.
Semua preparat topikal dapat menyebabkan “hypertensive crisis” bila digunakan
bersama obat penghambat monoamine-oksidase termasuk moklobemide. Penggunaan uap
air hangat dengan ataupun tanpa penambahan zat-zataromatik yang mudah menguap
seperti eukaliptus dapat membantu mengatasikongesti. Terapi ini juga diterapkan
pada terapi simtomatik bronchitis.
7.3.5.
BRONKHODILATOR
Penggunaan
klinik bronkhodilator pada infeksi pernapasan bawah adalahpada kasus bronkhitis
kronik yang disertai obstruksi pernapasan. Agen yangdapat dipilih adalah:
ß-Adrenoceptor
Agonist
ß-Adrenoceptor
Agonist memberikan onset kerja 10 menit serta lama kerja
bervariasi dari 3-6 jam, dan >12 jam untuk agen yang long acting seperti bambuterol,
salmeterol, formoterol. ß-Adrenoceptor Agonist diberikan secara inhalasi baik dalam
bentuk uap maupun serbuk kering. Dari dosis yang disemprotkan
hanya 10% saja yang terdeposit di sepanjang bronchi hingga paru. Tehnik
penyemprotan yang salah sangat berpengaruh terhadap jumlah obat yang akan
terdeposit. Upaya untuk meningkatkan kadar obat yang mencapai paru adalah
dengan memilih bentuk sediaan serbuk yang disemprotkan yang dapat mencapai 30%
terdeposit di saluran bronkhus-paru. ß-Adrenoceptor Agonist yang memilki
aksi intermediate seperti Fenoterol, Salbutamol,Terbutaline terdapat pula dalam
bentuk larutan yang akan diuapkan dengan bantuan nebuliser.
Metilxantine
Derivat metilxantine meliputi teofilin dan
derivatnya seperti aminofilin merupakan bronchodilator yang baik, namun memilki
beberapa kekurangan. Kekurangan tersebut di antaranya tidak dapat diberikan
secara inhalasi, sehingga efek samping lebih nyata dibandingkan ß-Adrenoceptor Agonist.
Selain itu dengan indeks keamanan yang
sempit teofilin perlu dimonitor kadar plasmanya. Derivat metilxantin
bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesteraseintrasel yang akan memecah
cyclic-AMP (yang diasumsikan berguna untuk bronkhodilatasi).
7.3.6.
MUKOLITIK
Mukolitik merupakan obat yang dipakai untuk
mengencerkan mukus yang kental, sehingga mudah dieskpektorasi. Perannya sebagai
terapi tambahan pada bronkhitis, pneumonia. Pada bronchitis kronik terapi
dengan mukolitik hanya berdampak kecil terhadap reduksi dari eksaserbasi akut,
namun berdampak reduksi yang signifikan terhadap
jumlah hari sakit pasien.
Agen yang banyak dipakai adalah Acetylcystein
yang dapat diberikan melalui nebulisasi maupun oral. Mekanisme kerja adalah
dengan cara membuka ikatan gugus sulfidril pada mucoprotein sehingga menurunkan
viskositas mukus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar